Beberapa bulan lagi datang tahun ajaran baru. Datang juga suasana, kelas, baju, dan buku-buku baru... seragam... seragam... (intonasi iklan pemutih pakaian). Asik bisa beli-beli barang-barang baru untuk keperluan sekolah, termasuk buku. Mau buku pelajaran, buku tulis, buku gambar bahkan sampai buku diary. Hihihi...ketahuan deh suka curhat...Tapi yang penting bukan masalah buku diary atau buku gambar dan buku tulis tapi lebih pada buku pelajaran. Setiap tahun ajaran baru pasi perusahaan-perusahaan tau industri-industri percetakan kejatuhan banyak orderan buku. Dari merek A sampai merek Z. Tapi pernahkah kita berfikir, masihkah buku-buku itu digunakan pada jenjang sekolah yang sama di 5-10 tahun yang akan datang? Masihkah buku-buku itu disimpan saat ia tertumpuk tak terjamah? Mungkin kebanyakan orang akan berfikir kalau buku-buku bekas itu lebih baik dijual daripada menumpuk di dalam rumah dan memenuhi ruangan.
Itu merupakan salah satu fenomena sepele salah satu akibat dari kebijakan kependidikan di Indonesia. Kurikulum di Indonesia berubah-ubah tiap 4-5 tahun sekali. Dan mau tidak mau buku-buku pelajaran harus menyesuaikan dengan kurikulum yang berlaku jika ingin tetap laku atau perusahaannya tetap eksis. Memang benar, ketika kurikulum yang digunakan 'lebih baik' dari sebelumnya mutu pendidikan di Indonesia akan semakin baik pula. tapi apakah sudah tepat sasaran dan layak digunakan di Indonesia? Ketika buku-buku dengan kurikulum baru beredar dan banyak dibutuhkan untuk menunjang proses belajar, masalah lain akan timbul setelah buku-buku itu tidak lagi digunakan. Mungkin benar buku-buku selama apapun jika sudah ada di perpustakaan akan tetap awet dan selalu digunakan, tapi apakah yang dibeli secara individu juga bernasib sama dengan yang ada di dalam perpustakaan? Dan kenyataannya adalah tidak.
Jika anak-anak yang kemampuan ekonomi keluarganya terbatas, maka buku-buku pinjaman dari sekolah menjadi ujung tombak mereka untuk maju. Tapi bagi mereka yang memiliki rezeki lebih membeli buku merupakan hal yang sepele untuk mereka. Dengan jumlah anak 2 atau lebih pun mereka akan dengan mudah membelikan anak-anaknya buku pelajaran berapapun harganya. Ya mau nggak mau tetap begitu, kan demi pendidikan anak-anaknya. Apalagi dari SD guru-guru mengatakan bahwa buku adalah sumber ilmu, buku adalah cendela dunia, dll. Memang bagus untuk memotifasi anak untuk belajar. Ketika buku-buku itu masih baru, buku itu akan disayang-sayang pemiliknya, namun setelah 3-5 tahun kemudian buku -buku itu lebih banyak berujung pada tukang loak atau rosok.
Kejadian itu tidak bisa dipungkiri lagi. Ketika sumber ilmu itu dengan nyata dan secara tidak sengaja teronggok menjadi tumpukan-tumpukan yang dikemas dengan tali plastik warna-warni di temat penampungan. Berbagai macam pertanyaan muncul di benakku. Setelah dikemas buku-buku itu akan diapakan,dijual lagikah atau hanya akan dibiarkan menumpuk begitu saja? Jika dari tahun ke tahun ataupun dari perpindahan kurikulum-ke kurikulum yang baru akan menghasilkan masalah seperti ini bagaimana nasib pohon-pohon yang ditebangi untuk bahan dasar kertasnya? Apakah buku-buku itu tidak bisa dikemas secara elektronik untuk keseluruhannya? Toh teknologi sekarang sudah maju dan anak-anak di TK dan SD pun sudah bisa memanfaatkan teknologi seperti HP, komputer/leptop, dan internet. Dengan begitu semuanya akan lebih baik lagi ke depannya.
"Sumber ilmuku akan tetap abadi tanpa harus membuatnya terlunta-lunta"
sekilas inspirasi saat melihat si bapak mengemas buku-buku lama
foto diambil di salah satu sudut kota Yogyakarta
dan di tengah-tengah keramaian malam akhir pekan
saat sebagian besar orang sedang bersenang-senang
di tempat itu ia mengemas buku-buku lama hasil siang hari
0 komentar:
Posting Komentar